Journey Of Happiness
Judulnya berat amat ya. Hahaha.
Ya ga happy banget juga sih, dan hidup juga kan belum berakhir ya, happy (yang sedikit) ini juga pasti akan berganti. Namanya juga hidup, rasanya nano-nano, sekarang happy bisa jadi 5 menit lagi depresi.
But, yeah, again and again I wanna tell the story about my life.
Apalagi atuh ya da aku mah waras dengan menulis. Jadi, jangan julid please. Aku menulis karena aku harus menulis.
Dok, if we meet again, I can tell you that I start to write again, Dok.
Ok I start with the word ‘MENIKAH’.
Menikah is a big life changer buat aku. Tepat setelah menikah.
Karena sebelum hari H pernikahan, aku masih merasa menjadi wanita paling beruntung, paling bahagia, paling diberkahi, dan tak akan pernah bersedih. Pikiran aku kaya di cerita Cinderellah deh pokoknya. Every love story has a happy ending. Kalau nonton film, atau baca novel, mostly kan ceritanya happy ending ya?! Nah, itu pikiran aku saat itu. Akhirnya aku menikah, happy ending.
Ternyata, step kehidupan selanjutnya baru dimulai. Hahaha.
Menikah ternyata sulit, bahkan sebelum punya anak sekalipun. Aku ga expect bahwa prahara rumah tangga akan sangat menguras emosi jiwa. Aku bahkan ga pernah menyangka aku akan mengalami prahara rumah tangga yang jauuuuuuuuuuh sekali dari bayanganku, mungkin bayanganmu juga yang membaca ini.
Kita skip detail ceritanya ya.
Alhamdulillah Allah karuniakan anak, iya alhamdulillah. Aku harus ingat-ingat terus untuk mengucap alhamdulillah daripada astgahfirulloh. Sampai sekarang aku masih harus terus berhusnudzon dan mensugesti otak aku sendiri untuk selalu bilang alhamdulillah dan bersyukur.
“Anak-anakku adalah anugrah, bukan musibah”
“Anak-anakku adalah anugrah, bukan musibah”
“Anak-anakku adalah anugrah, bukan musibah”
Dulu waktu kuliah, aku punya dosen namanya Pak Hertog. Saat itu beliau satu-satunya PhD dan calon profesor di kampus (sekarang udah jadi Prof, selamat ya Pak!). Di salah satu perbincangan kami, beliau pernah cerita kalau istri beliau juga sama pintarnya dengan beliau, dan akhirnya melahirkan anak dengan IQ very superior. Karena IQ anak juga salah satunya genetik, fyi.
Aku saat itu kagum dong, wow keluarga pintar. Terus beliau bilang, “kalau saya bisa request, saya maunya punya anak yang biasa-biasa aja lah. Pusing anak saya terlalu pintar”. At that time aku kaget gitu loh, wih humble banget sampe gak mau punya anak pintar.
Tapi sekarang, aku ngerti perasaan Pak Hertog. I am with you, Pak!
Sulit punya anak pintar. Sejak usia 2 tahun sampai kemarin Sekar psikotest di SDnya, aku ga sadar kalau Sekar punya IQ very superior. Di usia dia yang sekarang 7 tahun, hasil psikotestnya menunjukan kecerdasannya setara dengan anak 16 tahun. 16 TAHUN ITU KELAS 2 SMA LOH!
Menemani Sekar setiap hari sungguh berat. Emosinya, pola pikirnya, daya tangkapnya, bicaranya, perdebatannya, seeeeeeemuanya.
2 tahun pertama dengan Sekar bisa dibilang paling berat. Karena aku ibu baru, dititipkan anak yang saat itu aku gatau dia IQnya tinggi, aku kewalahan. Aku frustasi karena gatau ilmu apa-apa. Aku gatau gimana cara mendidik anak kaya Sekar, aku ga punya bekal apa-apa untuk membersamai Sekar. Ditambah aku ngga ada suami yang menemani sehari-hari, aku ga punya ART, aku ga punya teman orang dewasa di rumah, hampir 24/7 aku hanya berdua sama Sekar, tanpa bekal apa-apa menangani anak yang luar biasa. Aku frustasi.
Lebih sering aku marah-marah, lebih sering berteriak, bahkan mungkin mengancam. Tapi alhamdulillah Allah ga pergi ninggalin aku. Aku cari bantuan, dan Allah pertemukan dengan Abah Ihsan yang saat itu sangaaaaaaat membantu aku sekali. Urusan Sekar ‘lumayan’ berkurang bebannya.
Tapi ternyata menjadi orang dewasa itu kompleks masalah hidupnya, ada drama lain yang masih menunggu. Drama rumah tangga. Skip.
But, thank anyway buat Teh Anita dan akhwati fillah semua, yang sampai sekarang selalu siap menampung aku dan masalahku. I don’t know how kalau Allah ga pertemukan aku dengan kalian, mungkin sekarang aku ada di alam Barzakh.
Diary depresiku belum berakhir, walaupun akhirnya aku harus ke psikiater, rutin minum obat penenang, latihan phsyco therapy, kontrol seminggu sekali, sungguh melelahkan.
Iya hidup aku melelahkan. Kayanya aku lupa rasanya bahagia, bahagia itu apa aku rancu. Aku lupa caranya tertawa, apa yang mebuatku tertawa?
Tapi semua ini qadarullah. Qadarullah diberikan cobaan yang sungguh sangat sangat sangat berat, hingga pada akhirnya aku bertemu dengan banyak dunia baru.
Dari depresi ini aku bertemu dunia lettering. Satu dunia baru yang ternyata bisa membuatku bahagia, 5 tahun aku menggambar, 5 tahun aku belajar menyelami dunia baru yang ternyata cukup membuat fokus depresi teralihkan. Ini juga qadarullah, terimakasih ya Allah. Tapi ya seperti roda, dunia ini juga berputar. Ada saatnya aku harus berhenti, karena satu dan lain hal yang aku ngga bisa paksakan.
Aku depresi lagi.
Aku harus cari cara menyelesaikan depresiku tanpa obat penenang. Aku ingin terlepas dari obat, dan dokter bilang bisa, dengan usaha. Aku juga yakin aku bisa, dengan bantuan Allah.
Tapi perjalanannya juga ga secepat aku menulis paragraf baru ini. Aku harus masih harus bertemu lagi dengan masalah-masalah baru yang lain tanpa ada ‘obat’ yang bisa aku andalkan. Aku masih harus sendirian lagi.
Mungkin Allah kasian ya sama aku, kasihlah bahagia dulu dikit. Alhamdulillah Allah kasih titik terang dari usaha sambel. 2 tahun dapet dunia baru masak sambel, yang mana padahal masak bukan keahlian aku sama sekali. Aku ga bahagia dengan memasak, tapi aku butuh pengalihan lain dari fokus depresiku.
And I did it!
Ternyata ga perlu suka, ngga perlu bisa, yang penting mau. Saat itu aku bukan mau jualan, bukan mau masak, tapi aku mau mengalihkan fokus dengan hal-hal yang positif. Terimakasih ya Sambel, udah jadi bagian perjalanan aku juga.
Lalu, entah apa alasan Allah mempertemukan aku kembali dengan dunia badminton. Tiba-tiba aja fyp sebuah komunitas badminton di Bandung, iseng-iseng nyoba sekali, dua kali, tiga kali, eh kok nyaman.
Qadarullah aku bertemu dengan komunitas yang tepat, yang ternyata bisa bikin inner child aku bangun lagi. Inner child yang positif dong tentunya. Karena setelah hampir 1 tahun ini aku nyemplung lagi di dunia badminton, akhirnya kenal dengan banyak komunitas, i found that my first badminton comunity ini paling bikin aku nyaman. Vibesnya kaya badminton sama Bapakku dulu. I can’t explain more, but i don’t have to explain more :) Temen-temen admin yang cara bercandanya, cara interaksinya, atmosphere-nya, remind me to my childhood memories. Masa-masa yang menurutku tanpa beban, cuma bersenang-senang, keinget lagi.
Yes! And now, aku lagi di titik mengalihkkan depresi dengan dunia baru ini, sampai kapan ini akan berlangsung? Cuma Allah yang tahu.
Semoga apa yang terjadi sekarang dan kemarin, Allah ridho. Semoga Allah akan selalu menunjukan jalan mulus untuk setiap jalan garinjul yang juga Allah kasih. Kalau aku boleh request, tolong jangan ambil dunia yang ini ya Allah. Dunia yang saat aku kecil dulu, sampai ternyata sekarang ketemu lagi di usia dewasa, selalu memberikan kebahagiaan.
Aku mohon untuk menjaga dunia ini agar tetap menjadi good memories, semoga Allah menjaga pinta aku yang ini. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar